Meniupkan Kembali Ruh 'Ensama' Iban Batang Kanyau-Tamambaloh
- yayasansanggabumi
- 21 Mei
- 2 menit membaca

Hari Bersejarah untuk Masyarakat Adat Tamambaloh dan Iban Batang Kanyau
Rabu, 19 Maret 2025 menjadi hari bersejarah bagi Masyarakat Adat Tamambaloh dan Iban Batang Kanyau. Kesepakatan pengelolaan dan penguasaan wilayah adat di antara kedua suku ini, yang sejak lama buntu tanpa solusi, akhirnya menunjukkan titik terang.
Mereka sepakat penyelesaian harus mengedepankan 'Ensama' yang selama ini telah memudar. 'Ensama' adalah bahasa Iban yang berarti tali persaudaraan yang erat.

Kesepakatan tersebut menjadi langkah awal untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah yang telah lama menumpuk di antara kedua Suku. Poin penting yang disepakati adalah keinginan bersama untuk mewariskan potensi Sumber Daya Alam yang dapat dikelola secara bersama ke generasi mendatang. Bukan yang lain, apalagi mewariskan konflik kepentingan yang merugikan, akhirnya mempertajam perselisihan dan memutus tali persaudaraan kedua suku besar ini.
Sejarah Panjang Persoalan Wilayah Adat
Suku Tamambaloh dan Suku Iban Batang Kanyau merupakan dua suku Dayak yang berkelompok melalui kelembagaan adat ketemenggungan/ketamanggungan. Ketamanggungan suku Tamambaloh tersebar di 6 desa atau wilayah adat, yakni Tamao, Pulau Manak, Banua Martinus, Banua Ujung, Saujung Giling Manik dan Ulak Pauk. Sementara Ketemenggungan suku Iban Batang Kanyau di desa atau wilayah adat Menua Sadap.
Persoalan pengelolaan dan penguasaan wilayah adat ini telah berlangsung puluhan tahun, meskipun sudah ada musyawarah-musyawarah sebelumnya. Wilayah adat yang dimaksud berada di Dusun Karangan Bunut, Desa Menua Sadap, di hulu Daerah Aliran Sungai Tamambaloh-Batang Kanyau, mencakup area di luar dan dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), yang secara administrasi pemerintahan berada di wilayah desa Menua Sadap.
Sebelum sistem pemerintahan desa diberlakukan, termasuk penunjukan batas desa, kedua suku ini hidup bersama dengan mengelola Sumber Daya Alam secara tradisional dan arif. Namun, penunjukan batas desa secara tidak langsung menimbulkan ketidakharmonisan sosial antar kedua suku, utamanya dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah dan sumber daya alam wilayah tersebut.
Kesepakatan untuk Masa Depan
Kedua belah pihak menyadari bahwa persoalan ini harus segera diselesaikan untuk menghindari masalah yang lebih besar di masa depan apabila dibiarkan berlarut-larut.
Setelah melewati berbagai proses yang panjang, kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan pertemuan secara kekeluargaan dengan mengedepankan ikatan Ensama.
Terdapat sejumlah poin yang disepakati dalam pertemuan tersebut, satu di antaranya yaitu selalu menjaga hubungan kekeluargaan dalam ikatan Ensama pada proses pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Utamanya, dalam konteks mengelola dan memanfaatkan Sumber Daya Alam di wilayah Dusun Karangan Bunut yang mengacu pada peraturan adat kedua suku dan peraturan pemerintah yang berlaku.
Dokumen Kesepakatan Bersama

Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam dokumen Kesepakatan Bersama antara Ketamanggungan Tamambaloh dan Ketemenggungan Iban Batang Kanyau yang ditandatangani oleh tokoh adat, dan pemerintah desa.
"Kalau pegang bara api, peganglah sampai jadi arang"
begitu kata Pak Jantan, Ketua BPD Menua Sadap. Beliau ingin menegaskan bahwa kedua belah pihak sudah berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan mereka.